Pengertian Akad Tabarru Menurut Bahasa
Tabarru
sendiri berasal dari Bahasa Arab yakni ‘birr’ yang memiliki arti kebaikan.
Kebaikan tersebut mengandung perbuatan sukarela untuk menolong sehingga tanpa
mengharapkan adanya imbalan. Oleh karena itu dalam pengertian tersebut
mengisyaratkan bahwa tabarru memiliki tujuan kebaikan.
Pengertian Akad Tabarru Menurut Ahli
Beberapa ahli berpendapat hampir sama yakni bahwa tabarru
merupakan tolong menolong. Jenis tolong menolong tersebut berbeda-beda, bisa
denga memberi atau meminjamkan. Meminjamkan dalam hal ini dapat berupa uang
atau jasa menggunakan akad tabarru (Karim : 2006,67-70).
Pengertian Akad Tabarru dalam Ilmu Fikih
Menurut terminologi fikih dijelaskan bahwa tabarru merupakan
pemberian atau penyerahan manfaat dari satu pihak ke pihak lain. Pemberian
tersebut tanpa mengharapkan imbalan atau keuntungan dengan tujuan menjalankan
kebaikan.
Akad Tabarru Dalam
Hal Meminjamkan Uang
Pinjam meminjam uang merupakan hal yang lumrah
dari pihak yang kelebihan dana kepada yang membutuhkan dana. Oleh karena itu,
dalam hal peminjaman uang terdapat beragam proses dan bentuk yang dapat
dipilih. Salah satunya dengan Tabarru yang menggunakan akad dalam bentuk
seperti berikut ini :
a) Qardh (Tanpa Syarat)
Bentuk pinjaman yang satu ini memberikan
pinjaman uang tanpa adanya persyaratan dalam bentuk apapun. Namun, syarat yang
digunakan adalah mengembalikan pinjaman tepat waktu atau sesuai dengan waktu
yang ditentukan dan disepakati. Syafi’I Antonio (1999) berpendapat bahwa qardh
adalah meminjamkan harta kepada orang lain yang dapat diminta atau ditarik
kembali tanpa ada imbalan. (Fatwa DSN-MUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001).
b) Rahn (Gadai)
Dalam ekonomi syariah, rahn
memiliki artian gadai. Gadai merupakan proses peminjaman uang dengan memberikan
jaminan dalam bentuk dan jumlah tertentu. Dimana jaminan tersebut ditahan oleh
pemberi pinjaman selama pinjaman belum dikembalikan. Syaikh Muhammad Ibn Qasim
Al-Ghazzi berpendapat bahwa peminjaman diperoleh dengan menjaminkan barang
sejenis uang atau yang dapat diuangkan. Dimana jika pinjaman tidak dapat
dikembalikan, maka barang jaminan tersebut bisa menjadi pengganti. (Fatwa
DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002).
c) Hawalah (Pemindahan)
Peminjaman dalam bentuk hiwalah
merupakan pinjaman yang bertujuan untuk memindahkan piutang dari pihak lain.
Hiwalah adalah transaksi yang tidak perlu menggunakan ijab tetapi tetap
dianggap sah dengan hanya mengatakan saja. Dalam hal ini artinya mengatakan
bahwa utang pihak pertama dipindahkan pada pihak kedua. Menurut Taqiyuddin,
hiwalah merupakan pemindahan utang atau beban orang lain menjadi utang orang
lain. (Fatwa DSN-MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000).
d) Qardul Hasan
Pinjaman yang terakhir yakni
menggunakan Qardul Hasan dimana ini merupakan Qardh tidak harus dikembalikan
sesuai dengan pokok pinjaman. Ahmad Ifham Sholihin berpendapat dalam Buku
Pintar Ekonomi Syariah bahwa qardul hasan merupakan pinjaman yang wajib
dikembalikan pinjaman pokoknya saja. Oleh karena itu, sangat meringankan bagi
peminjam karena tanpa adanya imbalan.
Akad Tabarru’ Dalam Hal Jasa
Peminjaman
tidak hanya dalam bentuk uang melainkan bisa juga dalam bentuk jasa yang
diberikan. Pemberian jasa tersebut dapat berbentuk keterampilan atau keahlian
yang dimiliki. Keahlian yang dimiliki dapat membantu mereka yang membutuhkan
terutama bagi mereka yang tidak memiliki keahlian tersebut sehingga dapat
merasakan manfaatnya. Oleh karena itu, terdapat peminjaman jasa dalam bentuk
seperti berikut ini :
a) Wakalah
(Perwalian)
Setiap orang
memiliki keahlian terhadap suatu bidang yang ia tekuni. Dimana keahlian setiap
orang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap orang akan saling membutuhkan jasa
orang lain di berbagai bidang. Salah satunya dengan adanya wakalah yang berarti
perwakilan. Perwakilan tersebut seperti mewakilkan sebuah tugas kepada sesorang
yang dianggap ahli pada bidang yang dimaksud. Sayyid al-Bakri Ibnu al-‘Arif
billah al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati menyatakan bahwa wakalah merupakan
penyerahan urusan kepada pihak lain. Penyerahan tersebut di dalamnya berarti
sebagai pengganti orang yang memberikan perwalian. (Fatwa DSN-MUI No.
10/DSN-MUI/IV/2000).
b) Wadiah
Wadi’ah ini
lebih dikenal dengan jasa titipan yang artinya memberikan kuasa kepada pihak
lain untuk menitip sesuatu. Penitipan tersebut dapat berupa harta benda yang
dimiliki oleh pemberi kuasa. Jasa ini mirip dengan wakalah hanya saja pada
wadi’ah lebih kepada menjaga amanat. Hal ini disepakati oleh para ulama fikih
yang berpendapat bahwa wadi’ah merupakan tolong-menolong dalam hal menjaga
amanat sesame amnesia. (Fatwa DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/IV/2000).
c) Kafalah
Akad
perwakilan selanjutnya yakni Kafalah yang merupakan perwakilan bersyarat.
Kafalah hampir sama dengan wakalah, tetapi di sini lebih kepada persyaratan
yang harus dipenuhi. Misalkan ketika ada seorang pemilik toko menugaskan kepada
karyawannya untuk menjaga toko selama ia pergi. Namun, dalam kondisi seperti
ini tidak membuat karyawannya menjadi wakil dari pemilik toko. Hanya sebagai
pengganti saat si pemilik sedang tidak ada di tempat. (Fatwa DSN-MUI No.
11/DSN-MUI/IV/2000)